Berawal dari membantu teman saya menerjemahkan materi dari Bahasa Inggris ke dalam Bahasa Indonesia. Istilahnya sambil menyelam minum air. Maka hasil translate ini saya manfaatkan juga untuk posting artikel di blog saya ini. Mengapa saya posting ke dalam blog saya? karena tidak lain ini juga akan sangat bermanfaat bagi pembaca. Penulis akan menyediakan artikel asli atau materi yang aslinya dalam Bahasa Inggris disertai juga terjemahan bebasnya dalam Bahasa Indonesia. Judul dari Materi atau artikel Tugas Kuliahnya adalah "Cross Cultural and Inter faith dimension of education".
Berikut ini penulis sajikan:
Cross-cultural and inter-faith dimensions of education
Cross-cultural and inter-faith
dimensions of education and the inter-cultural and inter-faith sensitivity they
promote are the greatest importance at this time. Despite all the talk about
globalization, there is evidence in many quarters of entrenched parochialism,
cross-cultural communication failure, profound misconceptions of other cultures
(fed by flagrant misinterpretation in the media) and outright ignorance and
bigotry.
Dimensi
pendidikan lintas-budaya dan lintas agama dan kepekaan antar-budaya dan antar
agama menjadi hal yang sangat penting saat ini. Meskipun semua pembicaraan mengarah
kepada globalisasi, terdapat bukti di banyak tempat hal-hal yang tidak
seharusnya, kegagalan komunikasi lintas budaya, kesalahpahaman mendalam
terhadap budaya lain (kesalahan tafsir
yang mencolok di media) dan kebodohan langsung serta kefanatikan.
This situation is only exacerbated
by allegiance to the poisonous doctrine of the clash of civilization, which is
easily exploited, either by mediocre minds or by those pursuing an agenda of
political, economic, military or evangelical domination, to give credence to an
infantile us and them, either you’re with us or against us, black and white,
axis of evil, goo and bad guys, mentality.
Situasi
ini hanya diperburuk oleh kesetiaan kepada doktrin yang kolot, berbahaya dari
benturan peradaban, yang dengan mudah dimanfaatkan, baik oleh pikiran awam atau
mereka yang memiliki kepentingan dominasi politik, ekonomi, militer atau Orang2
nasrani(Missionaris), untuk meyakinkan kami dan dengan sifat kekanak-kanakan
mereka, mereka memaksa, Anda bersama kami atau melawan kami, hitam dan putih,
poros kejahatan, dan orang-orang dengan mentalitas jahat.
We must take opportunity to enhance
cross-cultural and inter-faith understanding and respect for diversity. This is
not something only done in personal and social education or religious education
lessons and school assemblies but in every subject area and in every aspect of
school life, as set out in the new citizenship component of the British
National Curriculum. Art and music are
fertile areas for cross-cultural work. It can be promoted in every subject
area, including mathematics and science, and no teacher should be allowed to
get away with the idea that their subjects are only concerned with a set of
prescribed skills or a narrow band of content which has to be “taught” so as to “cover” the syllabus in time for the
examinations.
Kita
harus memanfaatkan kesempatan untuk meningkatkan pemahaman lintas budaya dan
lintas agama dan menghormati keragaman. Ini bukan sesuatu yang hanya dilakukan
dalam pendidikan pribadi dan sosial atau pelajaran pendidikan agama dan majelis
sekolah tetapi di setiap area subyek dan dalam setiap aspek kehidupan sekolah,
sebagaimana tercantum dalam komponen kewarganegaraan baru dari Kurikulum
Nasional Inggris. Seni dan musik merupakan daerah subur untuk kerja
lintas-budaya. Hal ini dapat diintegrasikan dalam setiap mata pelajaran, termasuk
matematika dan ilmu pengetahuan, dan tidak ada guru berpandangan mata
pelajaran/Subject hanya memfokuskan satu set keterampilan saja yang ditentukan
atau materi yang isinya sempit yang harus "diajarkan layaknya seperti cover silabus pada saat untuk ujian.
Faith schools must also demonstrate
their respect for religious and cultural diversity and true pluralism, in the
sense that openness to other faiths and traditions does not necessitate any
loss of commitment to a particular faith community of communities. At the same
time, we need to understand why many parents prefer to send their children to
single faith schools, not the least because of the cohesive ethos and coherent
system of values they provide.
Sekolah
agama juga harus menunjukkan rasa hormat mereka untuk keragaman agama dan
budaya dan pluralisme, dalam arti bahwa keterbukaan terhadap agama dan
tradisi-tradisi lain bukanlah suatu komitmen kerugian terhadap komunitas iman
masyarakat tertentu. Pada saat yang sama, kita perlu memahami mengapa banyak
orang tua lebih memilih untuk menyekolahkan anak mereka ke sekolah agama, tidak
sedikit karena etos kohesif dan koheren sistem nilai yang mereka berikan.
The best curriculum should aim to
encompass a global dimension and extend the horizons of students in all areas
of the curriculum, so that, while having pride in their own culture, they will
have respect for cultural diversity in all its forms and understand the contribution
of all civilizations to the development of mankind.
Kurikulum
terbaik harus bertujuan untuk mencakup dimensi global dan memperluas cakrawala
siswa dalam semua bidang kurikulum, sehingga, sementara memiliki kebanggaan
dalam budaya mereka sendiri, mereka akan menghormati keragaman budaya dalam
segala bentuknya dan memahami kontribusi semua peradaban untuk perkembangan
umat manusia.
The curriculum should therefore
provide opportunities for the study of world
history; world geography, including human geography and anthropology to
promote understanding and respect for human and cultural diversity; world
civilizations and their contribution to the transmission of sacred knowledge,
including the thematic study of comparative methodology and symbolism and their
significance for the psychological and spiritual development of the student.
Oleh
karena itu, Kurikulum harus memberikan kesempatan untuk belajar sejarah dunia,
geografi dunia, termasuk geografi manusia dan antropologi untuk mempromosikan
pemahaman dan penghormatan terhadap keragaman manusia dan budaya, peradaban
dunia dan kontribusi mereka terhadap transmisi pengetahuan suci, termasuk
kajian tematik komparatif metodologi dan simbolisme dan signifikansi mereka
untuk pengembangan psikologis dan spiritual siswa.
The curriculum should also
acknowledge the contribution of Islam to the development of Western
Civilization, not in the sense of dwelling nostalgically on “past glories”, but
in the deeper sense of finding common ground
between Islam and the West, and in bringing to light the unique capacity for synthesis
characteristic of the Islamic perspective. Islam is, after all, “a community of
the middle way “ (Quran 2: 143). The ummatan wasatan represents what Gai Eaton has called “a
connecting link and a centre of gravity” in the midst of a world polarized
between East and West, and North and
South.
Kurikulum
juga harus mengakui kontribusi Islam untuk pengembangan Peradaban Barat, bukan
dalam arti tinggal nostalgia pada " kejayaan masa lalu ", tetapi
dalam arti yang lebih dalam untuk menemukan kesamaan antara Islam dan Barat,
dan membawa kepada cahaya perpaduan karakteristik unik dari perspektif Islam.
Islam sendiri sesudahnya , menjadi komunitas tengah (Quran 2: 143). The ummatan
wasatan mewakili apa yang disebut Gai Eaton link yang menghubungkan dan pusat
gravitasi" di tengah-tengah dunia yang terpolarisasi antara Timur dan
Barat, Utara dan Selatan.
As Mona Abu-Fadl has explained, this
is not the Aristotelian “mean” based on the idea of “a middle ground arrived at
by the elimination of extremes or an aggregate amounting to a moderate stance”
which would, by its very nature, be
“shifting and defined, moreover, in terms of other positions, not of any
intrinsic characteristics.” A middle way rooted in tawhid and “deriving its
elements from transcendental sources, provides a stable integral core which
serves in itself as a point of departure and referent for defining and
qualifying other positions and not the reverse. In this way, it constitutes an
intrinsic core and provides a vertical axis or spinal component, round which
the diverse elements and modes of knowledge in the circle of consciousness
cohere.
Seperti
yang telah dijelaskan Mona Abu-Fadl, ini bukan Aristotelian yang berarti didasarkan pada gagasan
"jalan tengah didapat melalui penghapusan ekstrem atau agregat sikap yang
moderat" yang secara alamiah akan berubah/geser dan didefinisikan.
apalagi, dalam hal posisi lain, bukan dari setiap karakteristik
intrinsik." Sebuah jalan tengah berakar pada tauhid dan "berasal
unsur-unsur dari sumber transendental, memberikan inti stabil yang berfungsi
dalam dirinya sendiri sebagai titik keberangkatan dan rujukan untuk
mendefinisikan dan kualifikasi posisi lain dan bukan sebaliknya. Dengan cara
ini, dapat diartikan ini merupakan inti intrinsik dan memberikan sumbu vertikal
layaknya komponen tulang belakang, yang memiliki unsur-unsur yang beragam dan mode pengetahuan
dalam lingkaran kesadaran berpadu.
The best Islamic education will
renew that essentially Islamic capacity to integrate and accommodate diverse
traditions in a spirit of pluralism, as embodied in the historical legacy of
intellectual giants such as Al-Biruni, Ibn Al Haytham, Al-Ghazali, Ibn Rushd,
Razi and Suhrawardi.
Pendidikan
Islam terbaik akan memperbaharui bahwa kemampuan dasarnya Islam untuk
mengintegrasikan dan mengakomodasi tradisi yang beragam dalam semangat
pluralisme, sebagaimana yang termaktub dalam warisan sejarah intelektual
ternama seperti Al-Biruni, Ibnu Al Haytham, Al-Ghazali, Ibnu Rusyd, Razi dan
Suhrawardi.
Pluralism is itself
an ideal environment in which to project not narrow formalism but core
Islamic values, including the genuinely Islamic concept of human dignity. These
core Islamic values are the same universal values that promote unity in the
secular world. Values such as seeking knowledge, equality, freedom, human
rights, justice, and altruism. The principles of a new world order are embedded
in the pluralistic vision of Islam and were embodied in the prototype of an
Islamic society existing during the time of the Prophet (Peace and blessings
upon him) and in Al-Andalus, a vision capable of reconciling the demands of
diversity and unity in a humane framework.
Pluralisme
itu sendiri merupakan lingkungan yang ideal sebagai media yang tidak memiliki formalism
sempit tetapi mengandung nilai-nilai ajaran Islam inti, termasuk konsep yang
Islam yang menjunjung tinggi martabat manusia. Nilai-nilai inti ajaran Islam
adalah nilai-nilai universal yang sama yang mempromosikan persatuan dalam dunia
sekuler. Nilai-nilai seperti mencari ilmu, kesetaraan, kebebasan, hak asasi
manusia, keadilan, dan altruisme. Prinsip-prinsip dari suatu tatanan dunia baru
yang tertanam dalam visi pluralistik Islam dan diwujudkan dalam prototipe dari
sebuah masyarakat Islam yang ada pada masa Nabi(Semoga rahmat dan berkah selalu
menyertainya) dan di Al-Andalus, visi yang mampu mendamaikan/menyatukan
tuntutan keragaman dan kesatuan dalam kerangka manusiawi.
But let us be clear that such a
vision encompasses not only the openness that characteristics living
traditions, but also a strong commitment to a particular tradition and
community. Diana Eck, Director of the Pluralism Project, argues that there is
no such thing as a generic pluralists, committed to their own tradition, but at
the same time willing to encounter one another and respect each other’s
particularities. The task of a pluralist society, she says, Is “ to create
the space and the means for the
encounter of commitments, not to neutralize all commitment, “ for “unless all
of us can encounter one another’s conceptual, cultural, religious and spiritual
expressions and understand them through dialogue, both critically and self
critically, we can not begin to live with maturity and integrity in the world
house”.
Marilah
kita berpikir secara jernih bahwa visi tersebut tidak hanya meliputi
keterbukaan karakteristik tradisi, tetapi juga komitmen yang kuat untuk suatu
tradisi tertentu dan masyarakat. Diana Eck, Direktur Proyek Pluralisme,
berpendapat bahwa tidak ada hal seperti pluralis generik, berkomitmen untuk
tradisi mereka sendiri, tetapi pada saat yang sama bersedia untuk menghadapi satu
sama lain dan menghormati kekhasan masing-masing. Tugas masyarakat pluralis,
katanya, adalah "untuk menciptakan ruang dan sarana untuk pertemuan
komitmen, tidak untuk menetralisir semua komitmen," untuk "kecuali
kita semua dapat menemukan konseptual, budaya, agama dan ekspresi spiritual
satu sama lain dan memahami mereka melalui dialog baik secara kritis keduanya
maupun sendiri, kita tidak bisa mulai hidup dengan kematangan dan integritas di
dunia ini ".
A view pluralism which entails
commitment as well as openness and respect for diversity seeks synthesis in
relation to a stable, integral core of knowledge, but this is not the same as a
syncretic view which tries to fuse or
cobble together different traditions – including incompatible principles or
beliefs into a new system. It is not “a
global shopping mall where each individual puts together a basket of appealing
religious ideas, “ flattening out differences and reducing every tradition to “
the bland unity of the lowest common denominator” or “the nicest platitudes.”
Pandangan
pluralism(pluralism pandangan) yang memerlukan komitmen serta keterbukaan dan
menghormati keragaman mencari sintesis/perpaduan dalam kaitannya dengan stabilitas,
inti integral dari pengetahuan, tapi ini tidak sama dengan pandangan sinkretis
atauk keras yang mencoba untuk menggabungkan tradisi yang berbeda - termasuk
prinsip-prinsip yang tidak sesuai atau keyakinan ke dalam sistem baru. Ini bukan
merupakan "pusat perbelanjaan global/umum di mana setiap individu
menempatkan/menarik ide-ide keagamaan secara bersama dalam satu keranjang," menyamaratakan
perbedaan dan mengurangi setiap tradisi ke
dalam kesatuan lemah yang harus
disamakan secara paksa yang hanya basa basi belaka.
Nor is it an attempt to make up an
artificial language, to produce a kind of religious Esperanto, a common
language made up from words and grammatical structures selected from some of
the major world languages. Made up languages of this kind never seem to work.
Apparently, there are more people an interest in Klingon, the madu-up language
developed from the Star Trek television series, than Esperanto, because Klingon
is a language which dynamically and organically expresses the character of a
particular group of people, even though they completely fictional.
Tidak
juga upaya untuk membuat bahasa buatan,
untuk menghasilkan sejenis agama Esperanto, bahasa umum terdiri dari kata-kata
dan struktur gramatikal dipilih dari beberapa bahasa utama dunia. Membuat/menentukan
jenis2 bahasa semacam ini sepertinya tidak pernah berhasil. Rupanya, banyak
orang lebih tertarik pada Klingon, bahasa madu-up dikembangkan dari serial
televise Star Trek daripada Esperanto, karena Klingon adalah bahasa yang secara
dinamis dan organik mengungkapkan karakter dari sekelompok orang tertentu,
meskipun mereka kenyataanya adalah fiksi/tidak nyata.
It might be said that language Esperanto
is a worthy attempt to promote inter-cultural understanding within the “greater
common world” which Bacon regarded as the domain of those who had liberated
themselves from prejudice, conditioning, and those other “idols of the human
mind”. But I think this is a profound misunderstanding. Unity can not be
artificially constructed and contrived in this way, because it contradicts the
entirely natural multiplicity that is the very matrix of the entire universe.
Unity is a state of being within ourselves that enables us to live with
paradox, to reconcile opposites, to respect differences, to understand
complementary. It must be first and foremost a spiritual condition. “Verily,
never will Allah change the condition of people until they themselves change what
is in their souls” (Quran 13:11). This is change based on a spiritual
perspective and striving (Mujahada) to master the lower self which must take
precedence over a merely sociological or political view, for the relationship
with God is the core of what it is to be a Muslim, and, indeed, an adherent of
any religious faith.
Ini
bisa dikatakan bahwa bahasa Esperanto memiliki upaya layak untuk mempromosikan
pemahaman antar-budaya dalam "dunia umum yang lebih besar" yang
dianggap Bacon sebagai domain dari mereka yang telah membebaskan diri dari
prasangka, kondisi, dan orang-orang lain "yang menjadi idola pikiran manusia".
Tapi saya rasa ini adalah kesalahpahaman yang mendalam. Persatuan tidak bisa
dibangun secara dengan cara tiruan dan dibuat-buat dengan cara ini, karena cara ini bertentangan
dengan semua keserbaragaman alami yang tersebar di seluruh alam semesta. Persatuan/kesatuan
adalah suatu keadaan dalam diri kita yang memungkinkan kita untuk hidup dengan
paradoks, untuk mendamaikan hal-hal yang berlawanan, untuk menghargai
perbedaan, memahami saling melengkapi. Ini harus menjadi yang pertama dan
terutama bagi kondisi rohani. "Sesungguhnya,
Allah tidak akan mengubah kondisi masyarakat sampai mereka sendiri mengubah apa
yang ada dalam jiwa mereka" (Quran 13:11). Ini adalah perubahan
berdasarkan perspektif spiritual dan berjuang/perjuangan (Mujahada) untuk
menguasai diri yang lebih rendah yang harus lebih diutamakan daripada pandangan
hanya sosiologis atau politik, hubungan dengan Tuhan adalah inti dari apa artinya
menjadi seorang Muslim, dan seorang penganut setiap agama.
In the wake of September 11 2001,
and all the dangers which accompany a polarized us and them outlook on the
world, the West should never forget one of the founding principles of its civilization
in the affirmation by plato that philosophical dialectic, the testing process
of critical enquiry through discussion and dialogue, is utterly distinct from
and immeasurably superior to rhetoric, and this legacy has ultimately ensured
that in the contemporary usage of all modern European languages, the word
rhetorical almost invariably has negative communications, implying the abuse of
language for self-serving ends.
Kejadian
saat 11 September 2001 dan semua bahaya yang menemani terpolarisasi kami dan
mereka mengenai gambaran garis besar dunia, Barat tidak boleh lupa salah satu
prinsip pendiri peradaban yang ditegaskan oleh plato bahwa dialektika
filosofis, proses pengujian pertanyaan kritis melalui diskusi dan dialog, sangat
berbeda dan tak terkira unggul retorika, dan warisan ini akhirnya memastikan
bahwa dalam penggunaan kontemporer semua bahasa Eropa modern, kata retoris
hampir selalu memiliki komunikasi yang negatif, menyiratkan penyalahgunaan
bahasa untuk dirinya sendiri yang konyol.
At the same time, Muslims need to
recall that one of the founding principles of Islamic civilization was a
dynamic spirit of open-minded enquiry, which Muslim scholars communicated to
the Christian, Greek, and Jewish communities in their midst. As Muhammad Asad
has so eloquently written: “[The Qur’an], through its insistence on consciousness
and knowledge … engendered among its followers a spirit of intellectual
curiosity and independent inquiry, ultimately resulting in that splendid era of
learning and scientific research which distinguished the world of Islam at the
height of its vigor; and the culture thus fostered by the Qur’an penetrated in
countless ways and by ways into the mind
of medieval Europe and thus became in the course of time largely responsible
for the birth of what is described as the age of science ; the age in which we
are now living.” And for Muslims, the Qur’an I, par excellence, that
transcendental source which provides the qibla or orienting point reference,
the vertical axis and integral core around which all modes of knowledge and all
diverse traditions revolve and cohere.
Pada
saat yang sama, umat Islam perlu mengingat bahwa salah satu prinsip dasar
peradaban Islam adalah semangat dinamis, berpikiran terbuka, Para Sarjana
Muslim berkomunikasi kepada komunitas Kristen, Yunani, dan Yahudi di
tengah-tengah mereka. Seperti yang telah ditulis Muhammad Asad dengan elok:
"[Quran], melalui desakan dengan kesadaran dan pengetahuan ... dilahirkan
di antara para pengikutnya semangat intelektual, keingintahuan dan penyelidikan
independen, akhirnya menghasilkan era kejayaan dan semangat dalam pembelajaran
dan penelitian ilmiah yang dapat memberikan dunia Islam pada puncak
semangatnya. Dan budaya yang selanjutnya dipupuk oleh Qur'an merambah dalam
berbagai hal dan masuk ke dalam pikiran abad pertengahan Eropa dan kemudian
menjadi perantara atau penguhubung apa yang disebut masa atau periode lahirnya
ilmu pengetahuan(science). Masa di mana kita sekarang ini hidup "Dan bagi
umat Islam, Al-Qur'an merupakan sumber
transendental yang menyediakan/memerikan kiblat atau referensi sumber utama,
menjadi sumbu vertikal dan inti/pokok integral sekitar di mana semua jenis pengetahuan
dan semua tradisi/budya yang beragam berputar dan berpadu.
It's hard enough to catch the essence this article even being translated already, it seem from textbook. Need some effort to digest it. Remind me "Prisma" bulletin or English journalism.
ReplyDeleteyeah...you're right friend...
ReplyDelete